Rabu, 21 Desember 2011

Kisah Pangeran Surya Nata atau Surya Cipta atau Bambang Sukma Raga




Syahdan di Kerajaan Majapahit rajanya tidak mempunyai anak keturunan. Maka berangkatlah Ratu Majapahit ke tepi laut sambil membawa sesajen dan membakar Dupa Astanggi, serta mengadakan puji-pujian bagi Dewa Mulia Raya agar diberikan seorang anak.




Ketika hari sudah gelap, tiba-tiba ada suara yang menyuruhnya menyambut kedatangan seorang kanak-kanak yang bentuknya bulat seperti buah semangka. Kemudian diberi pesan agar kanak-kanak itu diselimuti dengan sarung Seri Gading, beralaskan kain kuning, dinding berwarna kuning dan juga langit-langitnya berwarna kuning yang dimasukkan ke dalam Peti Ranjang yang bertatahkan intan permata. Selain itu harus ditambah dengan radap sesajen berupa 40 macam masak-masakan setiap tahunnya, serta diasapi dengan Dupa Astanggi setiap malam pada hari baik. Dan di dalam petinya ditaburi bunga-bungaan dan wangi-wangian.




Setelah mendengar pesan dari suara yang tidak terlihat orangnya itu, maka pulanglah Ratu Majapahit kembali ke istananya. Diceritakannya apa yang tekah didengarnya itu kepada seluruh isi istana dan dititahkannya agar segera dilaksanakan semua pesan-pesan itu. Maka sibuklah segenap menteri, hulu balang, patih, dayang dan inang pengasuh menyediakan apa-apa yang dipesankan untuk kanak-kanak itu. Setelah selesai semuanya, dibawalah semua perlengkapan dengan si kanak-kanak ke atas balai petani.




Selama si kanak-kanak di dalam pemeliharaan keluarga kerajaan Majapahit, maka seluruh negeri merasakan keamanan dan kemakmuran dan seluruh Nusantara pun tunduk dan takluk kepada pemerintahan Majapahit.




---oo00oo---




Syahdan di Candi Agung, Lambung Mangkurat bersiap-siap hendak berangkat ke Majapahit lengkap bersama para patih dengan menggunakan sebuah perahu. Lambung Mangkurat berencana mencarikan suami seorang raja untuk Puteri Junjung Buih.




Setelah beberapa lama di perjalanan tibalah rombongan Lambung Mangkurat di Majapahit dan langsung menghadap raja Majapahit. Lambung Mangkurat kemudian menyampaikan maksudnya meminta anak untuk dipersuntingkan dengan Puteri Junjung Buih. Raja Majapahit menjelaskan bahwa ia tidak mempunyai anak seperti yang diinginkan oleh Lambung Mangkurat, yang ada hanya seorang anak yang bulat seperti semangka. Apa boleh buat, karena yang ada hanya anak itu dan Lambung Mangkurat merasa tidak enak menolak pemberian raja Majapahit, maka diterimanyalah anak yang bulat seperti semangka itu.




Diadakanlah acara pelepasan anak itu. Dia diusung oleh segenap patih kerajaan, dipayungi dengan payung ubur-ubur kebesaran kerajaan, dan dengan diiringi tabuhan gamelan yang terus-menerus mengantarkannya hingga sampai ke perahu rombongan Lambung Mangkurat.


Ketika dalam perjalanan menuju ke Candi Agung, di muara laut Banjarmasin, kapal rombongan Lambung Mangkurat berhenti dalam keadaan miring tanpa diketahui sebabnya, sehingga anak yang bulat seperti semangka tadi tecebur ke dalam laut. Anak itu kemudian berteriak, kalau mau menjemputnya supaya disediakan radap sesajen dengan dilengkapi tetabuhan gamelan dan payung ubur-ubur dibukakan serta dupa Astanggi dibakar selama tiga hari tiga malam.




Lambung Mangkurat memenuhi permintaan anak itu, acaranya pun genap tiga hari lalu Lambung Mangkurat menabur beras kuning ke laut di hadapan perahu tadi sambil memuji-muji Dewa Mulia Raya dengan harapan Dewa mengabulkan permintaannya.




Tiba-tiba muncullah seorang anak dari dalam air dengan berdiri di atas sebuah agung (gong) yang bernama Agung Manah Diganta dan gong diusung oleh seekor naga. Sambil menyebutkan namanya sendiri, Pangeran Surya Nata, anak itu pun mencabut lidah dari mulut naga yang mengusungnya dan menjelma menjadi sebilah keris yang namanya Keris Naga Selira. Setelah sampai di atas perahu, gong itu dikaitkan dengan basung peradah.




Lambung Mangkurat senang karena sudah memenuhi semua permintaannya, dan anak yang bulat seperti semangka itu pun sudah berganti dengan seorang pemuda gagah perkasa lagi tampan. Anak muda itu yang bernama Pangeran Surya Nata dibawa ke Candi Agung dan kemudian dikawinkan dengan Puteri Junjung Buih, anak angkatnya Lambung Mangkurat.




---oo00oo---






Singkat cerita kehidupan perkawinan Pangeran Surya Nata dengan Puteri Junjung Buih, lahirlah dua orang anak laki-laki, yakni Surya Wangsa yang kemudian kawin dengan Puteri Kelarang Sari, dan Gangga Wangsa yang adik.




Melihat Gangga Wangsa yang belum kawin, datanglah Patih Luhu menghadap Lambung Mangkurat dan berencana hendak mengawinkannya dengan Dayang Dipraja, anak Patih Arya Marangkan orang Bijayu yang tinggal di Muara Umur. Setelah ditanyakan kepada Gangga Wangsa rencana itu dan ia setuju, maka diutuslah oleh Raja Patih delapan orang untuk menjemput Dayang Dipraja. Kedelapan orang itu adalah :




-Patih Luhu

-Patih Pembalah Batung

-Patih Penimba Sugara

-Patih Peruntun Manau

-Patih Gancang Basaru

-Patih Bagalung

-Patih Kariau

-Patih Buntal.




Sesampainya di hadapan Patih Ariya Marangkan, ayahnya Dayang Dipraja, lalu Patih Luhu meminta ijin untuk membawa Dayang Dipraja ke Candi Agung. Ternyata Patih Ariya Marangkan tidak memberikan ijinnya, sehingga terjadilah pertengkaran dan perkelahian. Delapan orang utusan Lambung Mangkurat yang kesemuanya patih berhadapan dengan delapan orang juga.


Perkelahian itu luar biasa, sampai menggegerkan Gunung Malang hingga ke kerajaan Kuripan. Mendengar berita itu, Lambung Mangkurat pun mengirimkan utusannya kepada Patih Arya Marangkan. Perkelahian dihentikan dan Dayang Dipraja boleh dibawa ke Candi Agung dengan syarat hanya akan dikawinkan dengan raja.




Diusunglah Dayang Dipraja oleh Patih Pembalah Batung untuk dibawa ke Candi Agung dan diserahkan kepada Lambung Mangkurat. Kemudian ditanyakan kepada Raden Gangga Wangsa, apakah mau mengawini Dayang Dipraja, dan ternyata Raden Gangga Wangsa tidak mau karena dia hanya mau beristerikan anak raja juga.




Akhirnya Dayang Dipraja dikawini oleh Lambung Mangkurat sendiri dan tidak lama kemudian hamillah Dayang Dipraja. Ketika cukup masa kehamilannya dan hendak melahirkan terdengarlah suara dari dalam perutnya. Suara itu adalah suara anaknya sendiri yang mengatakan bahwa ia tidak mau kelahirannya sama dengan manusia pada umumnya. Anak itu meminta kelahirannya dengan cara dibelah perut ibunya dengan pisau Kerampagi yang dibungkus dengan daun sirih gegang lintung. Anak itu juga meminta disusui oleh kerbau putih yang diikat di bawah pohon Waringin Kuning. Kemudian dinamailah anak itu dengan nama Puteri Kabu Waringin.




Setelah anak itu besar, Lambung Mangkurat menyuruh Patih Luhu untuk memukul Agung Bandi Tatangar untuk memberi kabar kepada orang banyak di Candi Agung bahwa akan diadakan perkawinan antara Raden Gangga Wangsa, anak angkatnya, dengan Puteri Kabu Waringin, anak kandungnya.




Syahdan acara perkawinan diadakan lebih dari sebulan dengan mengundang seluruh keluarga, sedangkan raja-raja daerah taklukannya juga mengadakan keramaian di kerajaan masing-masing dan masing-masing mereka memberikan upeti sebagai hadiah perkawinan.




Tidak berapa lama Raden Gangga Wangsa pun mempunyai dua orang anak laki-laki. Yang tertua bernama Raden Carang Lelana, yang kemudian kawin dengan Puteri Kelungsu, dan yang adik bernama Raden Sekar Sungsang (Sekar Buga). Ketika Raden Sekar Sungsang masih kecil, ayahnya Raden Gangga Wangsa menghilang secara gaib ke kampung Anjau, maka tinggallah ia dengan ibunya saja.




---oo00oo---






Syahdan kita kembali ke cerita Ratu Pudak Setagal yang tinggal di Banua Hambuku dan dia hendak mengawinkan cucunya, Raden Gulek dengan anak Raja Gagiling, yakni Putri Gading Sapurus.




Untuk keperluan acara perkawinan itu dijemputlah Putri Kabu Waringin untuk membikin kue-kue pekawinan. Ketika putri sedang membikin kue dodol, anaknya sendiri Raden Sekar Sungsang keluar-masuk dapur untuk meminta kue. Hal ini membuat marah ibunya, sehingga dipukulnya anaknya itu dengan Wancuh Gangsa yang berakibat luka di kepala Raden Sekar Sungsang. Setelah mendapatkan luka di kepalanya sebab dipukul oleh ibunya, Raden Sekar Sungsang melarikan diri ke Candi Agung. Namun karena lari sambil menahan sakit di kepala dan juga di hati, Raden Sekar Sungsang salah arah hingga larinya melalui Kamisa Baraja Karang Baraja, Karang Jajar, Karang Tapus sampai ke Kambang Kuning. Di sana dia bertemu dengan orang yang naik perahu lalu dibawalah Raden Sekar Sungsang oleh orang itu ke tanah Jawa.




Di tanah Jawa Raden Sekar Sungsang yang dipanggil dengan nama Raden Sangkuriang menikah dengan anak seorang pejabat di Jawa bernama Galuh Sari Jawa. Selain itu dia juga beristrikan anak seorang Demang Langkatan, yaitu Dewi Rarasati. Raden Sangkuriang alias Raden Sekar Sungsang memperoleh seorang anak dari Galuh Sari Jawa yang bernama Raden Panji Segara yang kemudian dikawinkan dengan Puteri Ratna Sari, anak dari Ratu Giri.




Kemudian Raden Panji Segara diangkat sebagai raja oleh Ratu Giri. Raden Panji Segara menjadi raja pertama dari Raja Susunan, sehingga di beri gelar Ratu Susunan Giri Nata. Dialah awak garis keturunan Susunan Serabut atau Susunan Mataram. Diceritakan bahwa Raden Panji Segara senang dengan kesenian daerah. Di manapun dia bertemu dengan orang yang bisa memainkan alat musik, wayang, tari topeng, tarian-tarian lainnya, Baksa dan gamelan, maka dipanggillah orang-orang itu untuk mengajarinya. Akhirnya Raden Panji Segara memiliki banyak keahlian di bidang seni dan karawitan.




Raden Sangkuriang yang merasa terlalu lama berada di tanah Jawa berniat hendak kembali pulang ke kampung halamannya, Candi Agung, apalagi anaknya pun sudah menjadi raja di tanah Jawa. Raden Sangkuriang alias Raden Sekar Sungsang kemudian mengumpulkan anak dan isterinya untuk memberitahukan rencana kepulangannya kembali ke Candi Agung.




Persiapan untuk perjalanan pulang Raden Sangkuriang pun disiapkan. Segala perangkat kesenian juga turut dibawa. Namun sayangnya dia sudah lupa di mana letak kampung halamannya itu, disebabkan di waktu pergi ke tanah Jawa dulu dia masih anak-anak. Dalam keadaan tidak tahu arah, maka dia pun pulang ke arah matahari terbit. Di sepanjang perjalanan dia selalu bertanya kepada siapa saja orang yang lewat, di manakah negeri Candi Agung itu. Setiap tempat dan negeri disinggahinya, sampai akhirnya dia berhenti di kampung Gegiling.




Di negeri Candi Agung, Putri Kabuwaringin sedang sakit keras, tubuhnya kurus kering karena tidak mau makan dan minum. Dia sedang dirundung kesedihan sebab terkenang akan anaknya, yang tidak pulang-pulang setelah dipukulnya di kepala. Anaknya itu tidak ada kabarnya, apakah hidup atau sudah meninggal dunia.




Melihat kesedihannya anaknya, Putri Kabuwaringin, maka Lambung Mangkurat pun menyuruh para patihnya untuk berangkat ke tanah Jawa mencari cucunya yang melarikan diri semasa kecil, Raden Sekar Sungsang alias Sangkurian. Patih-patih itu adalah Patih Luhu, Patih Pambalah Batung, Patih Panimba Sagara, Patih Peruntun Manau dan Patih Gancang Basaru.




Kelima patih yang disuruh oleh Lambung Mangkurat mencari cucunya berkeliling di tanah Jawa, mulai dari Kediri sampai Singasari tidak juga bertemu dengan Raden Sekar Sungsang. Akhirnya mereka sampai di Gegiling dan bertemu dengan sebuah keramaian, dan ternyata ada orang yang sedang menari topeng. Karena tidak pernah melihat hal seperti itu, mereka pun duduk beristirahat di dekat orang ramai. Namun tidak lama kemudian si penari topeng melakukan gerakan membuka topengnya, dan kejadian ini dilihat oleh Patih Luhu yang langsung berkata kepada Patih Pambalah Batung, “Orang yang menari itu kalau dilihat wajahnya, sangat mirip dengan Pangeran Surya Nata”.




Maka setelah keramaian itu punt usai, didatangilah si penari itu oleh para patih pemimpin rombongan penari topeng itu. Setelah mendengar bahwa mereka hendak ke Candi Agung, maka si pemimpin rombongan penari topeng ingin mengikuti rombongan patih ke Candi Agung.


Singkat cerita, rombongan patih dan Pangeran Sekar Sungsang tiba di Candi Agung. Oleh pihak kerajaan dikumpulkanlah sekawanan dalang di balai peristirahatan dan para patih masing-masing menyediakan balai dan atapnya seperti panggung untuk keramaian.




Setelah selesai menghias balai beratap dengan berbagai hiasan dari kain satin dan sutera dewangga, maka dimulailah acara penampilan kesenian dengan membunyikan gamelan dan alat musik lainnya.




Sedangkan Puteri Kabuwaringin, ibundanya Pangeran Sekar Sungsang sudah sehat dan bugar badannya kembali, bisa duduk untuk makan dan minum disebabkan oleh suara musik gamelan yang didengarnya. Dengan berpakaian dan perhiasan dia bersama dengan dayang-dayang dan inang pengasuh turut menyaksikan tarian topeng yang ditampilkan. Setelah beberapa lagu dilalui, hari malam pun tiba dan acara hiburan dihentikan.




Setelah beberapa hari acara hiburan dilaksanakan di Candi Agung, maka oleh Lambung Mangkurat acara hiburan itu pun dihentikan, dan orang yang bisa menari topeng dan mendalang itu diminta oleh Lambung Mangkurat untuk tinggal di Candi Agung. Kemudian oleh Lambung Mangkurat si penari yang bernama Raden Panji dikawinkan dengan Putri Kabuwaringin.




Ketika suatu hari Putri Kabuwaringin sedang duduk mencari kutu di kepala suaminya, Raden Panji, tiba-tiba dia melihat ada bekas luka di kepala suaminya. Melihat luka itu teringatlah Putri Kabuwaringin dengan anaknya yang hilang. Ditanyakannya kepada suaminya apakah ia adalah Raden Sekar Sungsang, anaknya yang hilang semasa kecil, maka Raden Panji menjawab bahwa ia memang anak yang melarikan diri ke tanah Jawa di waktu kecil.




Kedua ibu dan anak itu pun menangis sambil berpelukan. Namun apa hendak dikata, kalau sudah kehendak Dewa Mulia Raya, Putri Kebuwaringin sudah terlanjur berbadan dua. Putri Kebuwaringin lalu menghadap ayahandanya, Lambung Mangkurat dan menceritakan bahwa Raden Panji yang sudah menjadi suaminya itu adalah anaknya yang hilang dulu, Raden Sekar Sungsang.




Mendengar cerita itu, marah dan malulah Lambung Mangkurat. Disuruhnya orang membuat rumah yang tertutup rapat tidak berjendela dan didalamnya dilapisi dengan dinding tujuh lapis. Setelah rumah itu selesai, maka Putri Kebuwaringin dimasukkan ke dalamnya.




Tak lama genaplah umur kandungan Putri Kabuwaringin, dan lahirlah seorang bayi laki-laki. Oleh Lambung Mangkurat bayi itu dimasukkan ke dalam peti yang dilapisi beledru dan kain sutra yang indah serta anak itu diselimuti dengan Tapih Sarigading (sarung Sarigading), menandakan dia adalah anak raja. Setela itu peti yang berisi anak kecil itu dilarutkan di sungai hingga terbawa arus dan sampai di Bakumpai. Peti berisi bayi itu ditemukan oleh seorang kepala Ngayau orang Biyaju, lalu diambilnya dan diberinya nama Raden Sira Panji yang kemudian dipeliharanya sampai besar.




Menurut cerita Raden Sira Panji inilah yang merajai orang-orang Biyaju sampai anak keturunannya hingga saat ini, dan oleh Lambung Mangkurat Reden Sira Panji diberi wilayah sendiri, yakni di sekeliling Tanah Bumbu, di luar batas Candi Agung.




Setelah cukup umurnya, Raden Panji Sira dikawinkan oleh Lambung Mangkurat dengan anak Patih Luhu, Putri Ratna Masih. Setelah kawin Raden Sekar Sungsang, ayahnya Raden Panji, diangkat oleh Lambung Mangkurat sebagai raja di Candi Agung dengan gelarnya Raja Kaburangan atau Pangeran Agung.




Dari perkawinannya dengan Putri Ratna Masih, Raja Kaburangan dianugrahi 3 (tiga) orang anak, satu orang anak perempuan dan dua anak laki-laki, yakni :




-Putri Ratna Sari bergelar Ratu Lamak atau Dewi Ratna Kecana Wilis.




-Raden Mentri Daha bergelar Pangeran Singa Garuda Maha Raja Suka Rama atau Raden Panji Sekar Susunan Giri.




-Raden Sunting bergelar Ratu Anuum Maharaja Suka Rami.




Setelah Raja Bagalung menjadi Mangkubumi dan anak-anak Raja Kaburangan besar-besar semua, maka kerajaan diserahkan kepada Raden Sunting dan ia gaib ke banua Anjau.



Ketika datang utusan dari kerajaan Mataram ke Candi Agung untuk meminta upeti dan tidak diberi, maka Ratu Lamak atau Putri Ratna Sari dibawa oleh Patih Jenar Jawa ke tanah Jawa.




Sedangkan Raden Sunting mempunyai dua orang anak laki-laki, yakni Gusti Arifin Jaya dan Gusti Simbang Jaya. Setelah kedua anak Raden Sunting besar-besar, maka oleh Pangeran Singa Garuda kekuasaan di Candi Agung diserahkan kepada Gusti Simbang Jaya dengan gelar Pangeran Tumenggung sedangkan Gusti Arifin Jaya diangkat sebagai Mangkubumi dengan gelar Pangeran Suka Rama.




Pada saat itu kerajaan untuk sementara pindah ke Babirik. Yang kakak, Gusti Arifin Jaya berkuasa di wilayah kiri, sedangkan adiknya Gusti Simbang Jaya di wilayah sebelah kiri. Sesudah itu kerajaan pindah lagi ke Daha dan di sinilah terjadi perang. Di Daha inilah Gusti Simbang Jaya kawin dengan Putri Intan Sari.




Syahdan, Pangeran Tumenggung atau Gusti Simbang Jaya yang berkuasa sebagai raja di Candi Agung, di Daha akan mengadakan haul tahunan. Di haul tersebut disiapkan Radap Sesajen selengkapnya dengan makanan empat puluh macam dan diiringi dengan hiburan keramaian berupa penampilan wayang dan sebagai dalangnya adalah Pangeran Tumenggung sendiri.




Malam itu juga Pangeran Suka Rama atau Gusti Arifin Jaya, kakanya Pangeran Tumenggung, menyuruh orang Bayanan yang bernama Banta Danta untuk membunuh Pangeran Tumenggung. Untuk terlaksananya pembunuhan itu, Pangera Suka Rama menyerahkan sebilah keris pusaka kepada Banta Danta. Dan kepada Banta Danta diberi janji akan dikawinkan dan diberi kekuasaan dengan diberi gelar Pangeran Mas Prabu.




Banta Danta segera berangkat malam itu dengan menyeberangi sungai untuk melaksanakan pembunuhan atas Pangeran Tumenggung. Dia pun naik ke atas balai atau panggung tempat Pangeran Suka Rama mendalang dan duduk di sampingnya, sedangkan Pangeran Tumenggung sedang asyik mendalang tidak tahu ada orang yang duduk di sampingnya. Tiba-tiba secepat kilat keris pusaka yang diberikan oleh Pangeran Suka Rama ditusukkan oleh Banta Danta ke tubuh Pangeran Tumenggung, maka matilah ia.




Banta Danta langsung melarikan diri ke seberang sungai. Sesampainya di depan Pangeran Suka Rama dan ingin menyerahkan keris pusaka yang berlumuran darah itu, tiba-tiba Pangeran Suka Rama merebutnya dan langsung mensukkannya ke tubuh Banta Danta hingga mati.




Akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Pangeran Suka Rama dan istrinya Pangeran Tumenggung, kakaknya sendiri, yakni Putri Intan Sari yang sedang hamil diambilnya sebagai istri.




Tak lama kemudian Putri Intan Sari melahirkan seorang anak. Pangeran Suka Rama yang tidak sudi mengasuh anak itu memasukkan bayi itu ke dalam sebuah peti, membungkusnya dengan Tapih Sarigading (sarung Sarigading), memberinya alas kain sutra yang indah-indah selengkapnya dan menghanyutkan di sungai.




Menurut cerita, anak bayi yang dihanyutkan di sungai itu kemudian ditemukan oleh seorang penangkap ikan yang bernama Patih Masih dan Patih Muhur. Keduanya melihat sebuah peti yang tersangkut di tengah sungai. Peti itu didatangi oleh mereka dan diperiksa isi dalamnya yang ternyata seorang anak bayi laki-laki. Anak bayi itu dibawa ke belandian, disanalah kedua orang itu tinggal dan anak bayi itu dipelihara di sana sampai ia besar. Anak laki-laki itu diberi nama Raden Jaya Samudera.




---oo00oo—






Raden Jaya Samudera atau Pangeran Suriansyah




Hatta, kita kembali kepada cerita Pangeran Singa Garuda Maha Raja Suka Rama, pamannya Pangeran Suka Rama yang membunuh Pangeran Tumenggung. Sewaktu dia memegang kekuasaan di Candi Agung ada utusan dari Kerajaan Mataram yang datang meminta peti namun ditolaknya. Maka utusan itu pun membawa Ratu Lamak, saudara kandungnya ke tanah Jawa sebagai pengganti upeti.




Selanjutnya ada utusan kedua dari kerajaan Mataram yang datang kemudian. Utusan kedua ini khusus datang membawa tebak-tebakan (cucupatian) yang harus dijawab. Tebak-tebakan itu berbunyi : Berapa banyak jumlah jamban (tempat buang hajat yang dibuat di atas rakit dan diletakkan di tepi sungai) yang ada di tanah Jawa.




Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dikumpulkanlah orang-orang seluruh negeri Candi Agung sehingga tidak tertinggal seorang pun, namun tidak ada juga yang bisa memberikan jawaban.




Tidak berapa lama kemudian ada orang yang melihat tiga anak kecil di jalan. Oleh raja disuruhlah Patih Luhu untuk membawa ketiga anak kecil ke hadapannya. Ternyata ketiga anak kecil itu tidak berbaju dan bercelana alias bertelanjang. Maka oleh Patih Luhu diberikannyalah pakaian selengkapnya dan diletakkan pakaian itu di pohon beringin di tepi sungai dan ketiga anak kecil itu disuruh mandi membersihkan diri sebelum mengenakan baju dan celananya.




Setelah berbaju lengkap, ketiga anak kecil itu dibawa oleh Patih Luhu ke hadapan raja dan utusan dari kerajaan Mataram. Di hadapan raja dan utusan dari Mataram, salah satu dari anak itu menjawab tebak-tebakan itu dengan mengatakan bahwa jamban itu ada tiga, yakni mereka sendirilah yang dimaksud dengan jamban dari Jawa itu. Ketiga anak dari tanah Jawa itu ternyata sedang mencari tuanya seorang raden yang berada di Candi Agung. Maksudnya sama seperti jamban adalah mereka tidak akan berhenti mencari radennya sampai bertemu dengannya, dan itu sama dengan jamban karena orang yang buang hajat di jamban (w.c.) tidak akan berhenti kecuali terpenuhi keinginannya untuk buang hajat.




Oleh utusan dari kerajaan Mataram jawaban anak itu dibenarkannya, dan dia bertanya siapa nama mereka. Ketiga anak itu menjawab bahwa nama-nama mereka adalah Aji, Mawi dan Sura. Setelah itu utusan itu pulang ke tanah Jawa dan tidak jadi membawa Ratu Anum ke tanah Jawa.


Pangeran Singa Garuda Maha Raja Suka Rama sangat senang dan ketiga anak itu dipeliharanya dan digelarinya Kindu Aji, Kindu Mawi dan Gemarta Sura. Ketiganya kemudian diangkat sebagai patih dan apabila ada permasalahan hukum kemasyarakatan dan kerajaan ketiganya dipanggil untuk menyelesaikannya.




Ceritanya ketiga patih atau menteri Kindu Aji, Kindu Mawi dan Gemarta Sura menghadap raja dan minta izin pergi ke tanah Jawa untuk menjemput Ratu Lamak.




Raja menahan mereka pergi karena ingin membuatkan sebuah perahu dulu sebagai alat transportasi serta menyiapkan perbekalan di perjalanan. Tetapi ketiga patih tersebut tidak mau dan mengatakan itu semua tidak perlu karena besok mereka akan berangkat. Besok harinya orang berduyun-duyun hendak mengantarkan kepergian ketiga patih itu dan ingin tahu bagaimana mereka berangkat ke tanah Jawa tanpa menggunakan perahu. Beratus-ratus orang berdiri di pinggir sungai, begitu juga dengan pangeran tidak ketinggalan ingin menyaksikannya.




Setelah selesai berpakaian dan mengenakan sabuk Cindai, serta memakai laung sasirangan (ikat kepala dari kain sasirangan), lalu berdiri dan berjalanlah ketiga patih itu ke tepi sungai. Yang berjalan di depan adalah Kindu Aji dengan membawa Gandur Bungkusan. Sesampainya di tepi sungai dibukanya dan keluarlah seorang kanak-kanak dan selembar tikar dari rotan. Tikar itu kemudian dibentangkannya di atas air. Ketiga patih kemudian duduk di atasnya sambil memegang ujung tikar rotan yang dijadikan seperti layar.




Kanak-kanak itu menyebut dirinya dengan nama Bayam Sampit. Oleh Bayam sampit ujung-ujung tikar rotan itu dipegangnya, lalu dia terbang di atas air laksana burung garuda membawa ketiga patih yang sekarang berada di dalam tikar ke pulau Jawa. Di waktu sore hari tibalah mereka semua di pulau Jawa, turun di Pasiban dan bertemu dengan orang yang sedang bermain bola.




--oo00oo—







Ketika Pangeran Jaya Samudra sudah cukup besar, dia bertanya kepada kakeknya Patih Muhur mengenai keberadaan ayahnya. Oleh Patih Bandi Andi diceritakanlah dari awal sampai akhir kejadian di Balandian ini, dan diceritakan juga bahwa Pangeran Jaya Samudra mempunyai garis keturunan tanah di sini (Candi Agung) dan juga dari tanah Jawa.




Setelah mendengar cerita dari kedua orang tua tersebut perihal ayahnya dan garis juriatnya, maka berangkatlah Pangeran Jaya Samudra ke tanah Jawa untuk menemui kakeknya Raja Susunan yang bersaudara dengan neneknya, yakni Ratu Anum. Setibanya di negeri Susunan, maka Pangeran Jaya Samudra masuk Islam dan diberi gelar Pangeran Suriansyah dan bergelar Panembahan Batu Habang. Selain itu dia juga mendapatkan bantuan senjata dan membawa seorang ulama dari tanah Jawa untuk dibawa ke Candi Agung, bernama Khatib Dayan yang berasal dari Madura.




Setelah selesai menghimpun segala bantuan dan bekal dari neneknya, Ratu Anum, lalu berangkatlah Pangeran Suriansyah pulang ke Banjarmasin terus menuju Candi Laras mencari Pangeran Suka Rama namun tidak bertemu. Setelah mendengar kabar bahwa Pangeran Suka Rama ada di kerajaan Daha, disusullah ke sana.




Sesampainya di Daha Pangeran Suriansyah berburu menjangan. Seekor menjangan kena dipanah, lalu diperintahkannya Pangeran Agung untuk mengambilnya. Ternyata Pangeran Agung tidak kembali juga karena dia bersama dengan Pangeran Suka Rama pergi melarikan diri. Pangeran Suka Rama lari ke Amandit, sedangkan Pangeran Agung ke kampung Anjau.


Sementara itu kerajaan Daha dan Candi Laras dikuasai oleh Pangeran Suriansyah. Inilah permulaannya kerajaan Islam di Banjarmasin.(Anw)

Perang Banjar

Banua Borneo ne sabalum bubuhan bangsa Eropa datangan, sudah ada juwa babarapa nagara kerajaan, nangkaya Kasultanan Sambas, Kasultanan Pontianak, wan Kasultanan Banjar. Nang batiga ne nang paling ulun kanal adalah Karajaan Banjar. Jadi di sia ulun handak mangisahakan sadikit kisah karajaan Banjar nang ulun tahu.


Sultan tu urang paningginya dalam aturan panguasa di Karajaan Banjar. Sidin ne mamarintah dibatasi lawan Dewan Mahkota nang kada lain anggota bangsawan kaluarga parak raja wan bubuhan pajabat pamarintah tingkat nang tinggi. Gawian sidin ne digani’i (dibantui) ulih saikung mangkubumi alias patih nang bagawi sabagai kapala ‘ahuy’ palaksana pamarintahan.

Mangkubumi ne digani’i juwa ulih Mantri Panganan wan Mantri Pangiwa nang gawiannya maurusi parkara militer, Mantri Bumi wan Mantri Sikap nang maurusi masalah duit (parbandaharaan) istana wan pamasukan pajak gasan kas nagara.

Kada buhannya tu haja pang, banyak haja pang lagi pajabat-pajabat nang maurusi sasuai bidangnya, nangkaya Anggamarta nang maurusi masalah bea cukai di palabuhan, Wiramartas nang maurusi pardagangan nagara, ada juwa Pambakal (lurah) nang maurusi masalah daerah. Ha ha ha, tabuat juwa saurang nah. (Pambakal Sambang Lihum). Bubuhannya tu bisa haja diambil matan rakyat nang jaba kaya kita ne asal baisi kamampuan haja.

RINGKASAN PERANG BANJAR

Nah, hanyar kita bepandir masalah Perang Banjar. Mun manurut catatan ulun, kada tahu am bujur kada, Perang Banjar tu berlangsung sejak tahun 1859-1905. Jadi lawas banar perangnya hanyar ampih. Asbab-asbab timbulnya perang naya tagasnya dilatarbalakangi faktor:
Partama, rakyat ne rancak sakit dah, napang bakas macam-macam bayar pajak ini lah, pajak itu lah, wan juwa karna bagawi kada baampihan (kerja rodi).

Nang kadua, wilayah kakuasaan karajaan sasain bahalus imbah banyak bubuhan luar masuk ka Borneo gasan manguasai daerah nintu. Wan juwa banyaknya intevensi Walanda rahat panggantian jabatan di dalam karajaan.

Nang katiga, imbah diangkatnya Pangeran Tamjidillah manjadi raja nang manggantiakan Sultan Adam, Pangeran Hidayat nang manjabat Mangkubumi marasa rancak tasisihakan marga rancak kabijakan sultan ne kada rasuk wan mangkubumi. Lalu ditambahi pulang kaciwa wan kalakuan Walanda nang maasingakan Prabu Anom ka Jawa, karna bardasarkan katantuan bahwa Prabu Anom nang ditangkap Walanda tu gasan diasingakan ka Banjarmasin. Palagi ae Walanda manajak las wan bawani maintervensi sampai ka dalam-dalam karajaan. Ahirnya Pangeran Hidayat lebih bapihak lawan kapantingan rakyat.

JALANNYA PERANG BANJAR

Kisah batampur ne mulai banyala di Banjar rahatan tanggal 28 April 1859 dipimpin ulih Pangeran Antasari. Imbah tu parjuangan naya mulai maluas ka daerah-daerah nang masih di bawah kakuasaan Kerajaan Banjar. Perang naya mamunculakan para pemimpin parjuangan nang kaya Kyai Demang Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Kyai Langlang, Panghulu Rasyid, wan masih banyak nang lainnya.

Demang Lehman wan pasukannya manyarang Walanda sampai kawa marabut benteng di Tabanio. Juwa, Tumanggung Surapati manyanggupi mambantui Walanda manangkap Pangiran Antasari. Ha hay, tapi nintu politik haja, rahatan barunding wan Walanda di atas kapal Onrust, sidin babalik mahantam Walanda sampai tinggalam kapalnya wan sanjata Walanda kawa diambil.

Sasain hari sasain banyala perang ne sampai ka palusuk dairah. Imbahtu juwa, Pangeran Hidayat nang mamihak ka rakyat diturunakan jabatan sabagai mangkubumi ulih Walanda. Inya diminta manyarah, tapi ditolak bamantahan ulih Pangeran Hidayat.

Imbah jabatan sultan wan mangkubumi ne puang, bubuhan Walanda makin banyaman manguasai Borneo. Imbahtu Borneo Salatan (Kalimantan Selatan) dimasukakannya ka dalam wilayah kakuasaan Walanda. Nangini nang maulah sarik rakyat wan Pangeran Hidayat. Pangeran wan rakyat malakukan parlawanan matan dairah nang sabuting ka dairah nang lain hingga maulah pihak Walanda pusang.

Tahun 1861, Kyai Demang Lehman tatangkap wan manyarah sahingga malamahakan parjuangan rakyat. Tapi rahatan Pangeran hidayat tatangkap juwa wan handak dibuang ka Jawa tahun 1962, maulah Kyai Damang Lehman sarik. Sidin bausaha lari sampai tambus kaluar pada tahanan Walanda. Imbahitu sidin ne manyarang Walanda beasa.

Di lain kisah, Pangeran Antasari nang mandangar Pangeran Hidayat handak diasingakan ka Jawa, sidin kaciwa banar, langsung sidin maningkatakan parjuangannya. Bangaran ahli strategi perang, ahirnya sidin kawa mampartahanakan benteng di Tundakan wan Gunung Tungka. Imbah malihat kaharatan sidin ne, rakyat wan pangikut sidin tanggal 14 Maret 1862 meangkat sidin manjadi kapala agama nang bagalar Panembahan Amirudin Kholifatul Mukminin. Galar ne maulah pangaruh nang ganal wan parjuangan sidin. Samangat sidin kada bapajahan nyalanya sampai sidin wafat rahatan tanggal 11 Oktober 1862.

Imbah Pangeran Antasari wafat, kada baarti parjuangan rakyat pajah wan ampihan. Buhannya tatap bajuang, nang dipimpin ulih kakawanan wan putra-putri Pangeran Antasari wan Kyai Damang Lehman.

Dasar juwa Walanda ne, buhannya mamakai politik saung hayam. Cara Walanda mahadapi parjuangan rakyat, buhannya mamakai Pangeran Syarif Hamid sabagai alat gasan mamaraki pajuang-pajuang. Ahirnya usaha naya babuah hasilnya, Walanda kawa manangkap Demang Lehman nang langsung dibawa ka Martapura gasan manjalani hukuman gantung tanggal 17 Februari 1864.

Imbah Kyai Demang Lehman tatangkap pulang, rakyat di dairah tatap haja bagarak malawan Walanda. Maka kaluaran ngaran-ngaran pamimpin rakyat rahatan nintu nangkaya Demang Wangkang wan Tumanggung Surapati, wan juwa anak-anak matan Pangeran Antasari.

Senin, 19 Desember 2011

Bangunan berwarna kuning berbentuk rumah adat Banjar itu, memang agak tersembunyi di balik rimbunan pohon karet yang tumbuh subur. Kalau kita bepergian dari Banjarmasin ke Tamiang Layang dan melintasi Desa Jaar, bangunan itu tidak tampak dari jalan raya. Sebuah bangunan sekolah dasar akan menghalangi pandangan kita. Menurut tetuha adat di Desa Jaar, di dalam bangunan berbentuk rumah adat Banjar itu terdapat pusara Putri Mayang Sari. Ia adalah putri Sultan Banjar yang pernah menjadi pemimpin di Tanah Dayak Ma’anyan. Karena itu bagi orang Dayak Maanyan, bangunan unik itu mempunyai arti dan makna tersendiri.

Tulisan ini bertujuan memaparkan hubungan antara Urang Banjar dan Urang Ma’anyan yang bersumber dari tradisi lisan. Dalam mengumpulkan data untuk bahan tulisan ini, saya (Pdt. DR. Marko Mahin, MA.) dibantu Pdt.Hadi Saputra Miter, S.Th putra Dayak Ma’anyan asal Tamiang Layang, alumnus STT-GKE Banjarmasin.
Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma’anyan, Mayang Sari yang adalah putri Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi pada 13 Juni 1858, yang dalam penanggalan Dayak Ma’anyan disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mamma’i. Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan adalah perempuan Ma’anyan cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh Suku Dayak Ma’anyan.
Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma’anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman Pangeran Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin’nyan yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya, Sultan Suriansyah terkena denda Adat Bali, yaitu selain membayar sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.

Setelah Uria Mapas meninggal dunia, penduduk setempat mengangkat Putri Mayang Sari untuk memimpin daerah Sangarasi yang sekarang bernama Ja’ar –lima kilometer dari Tamiang Layang. Kepemimpinan Mayang Sari sangat diakui masyarakat setempat, karena selain putri dari seorang Sultan Banjar, ia adalah saudara angkat Uria Mapas Negara. Dalam tradisi Dayak Ma’anyan, Putri Mayang Sari dicitrakan sebagai perempuan berambut panjang dan berparas cantik. Namun bukan hanya kecantikan yang mempesona dimilikinya, tetapi kemampuan menyejahterakan rakyat di wilayah yang dipimpinnya. Dituturkan, pada masa hidupnya Putri Mayang Sari tidak pernah diam. Ia rajin mengadakan kunjungan ke desa untuk mengetahui kehidupan rakyat yang sebenarnya, dan secara khusus untuk mengetahui bagaimana ketahanan pangan masyarakat. Ia selalu mengawasi bagaimana hasil panen masyarakat. Untuk meningkatkan hasil panen, Putri Mayang Sari menganjurkan agar penduduk menanam padi di daerah berair, karena hasil panennya lebih baik daripada di daerah kering (tegalan).

Rute kunjungan Putri Mayang Sari setiap tahun adalah melewati daerah Timur yakni Uwei, Jangkung, Waruken, Tanjung. Kemudian daerah Barat yaitu Tangkan, Serabun, Beto, Dayu, Patai, Harara dan kembali ke Jaar Sangarasi. Menurut kepercayaan orang Dayak Ma’anyan, daerah atau wilayah yang dikunjungi atau
dilewati Putri Mayang Sari itu selalu mendapat berkah-keberuntungan, misalnya pohon buah berbuah lebat. Konon, buah langsat di daerah Tanjung yang terkenal manis dan disenangi banyak orang adalah karena daerah Tanjung adalah tempat singgah Putri Mayang Sari. Kendati beragama Islam, dalam menjalankan pemerintahannya Putri Mayang Sari menggunakan sistem mantir epat pangulu isa yaitu sistem pemerintahan
tradisional Dayak Ma’anyan. Dalam pola kepemimpinan ini, satu wilayah ditangani empat pemimpin (mantir) dan satu pengulu. Empat mantir mengurus masalah pemerintahan, sedangkan pengulu mengatur seluk beluk Hukum Adat. Dalam pemerintahannya memang ada dua hal yang diprioritaskan, yaitu terpenuhnya kebutuhan pangan rakyat dan tegaknya Hukum Adat yang bagi orang Dayak Ma’anyan adalah tata aturan kehidupan.

Setelah mengalami sakit selama tiga hari, pada 15 Oktober 1615 atau dalam penanggalan Dayak Ma’anyan disebut Wulan Katiga Paras Kajang Minau, Putri Mayang sari wafat. Karena kecintaan rakyat kepadanya, jasadnya tidak langsung dikuburkan, tetapi disemayamkan terlebih dahulu di dalam rumah hingga kering.
Setelah mengering, karena cairan dari mayat disalurkan ke dalam tempayan, jasad Putri Mayang dibawa ke seluruh daerah agar semua rakyat mendapat kesempatan memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka yang telah meninggal dunia. Akhirnya, jenazah Putri disemayamkan di Sangarasi yaitu wilayah Jaar sekarang.

Urang Banjar dan Ma’anyan Tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan memang banyak bertutur tentang relasi antara Urang Banjar dan Urang Ma’anyan. Misalnya dituturkan, orang Ma’anyan pada mulanya adalah penghuni Kayu Tangi. Karena itu, orang Ma’anyan, dalam bahasa ritual wadian, menyebut dirinya sebagai anak nanyu hengka Kayu Tangi. Hal itu untuk menunjukkan, sebelum hidup terserak di beberapa wilayah sekarang, mereka tinggal di Kayu Tangi, yaitu wilayah yang sekarang berkembang menjadi Kota Banjarmasin.

Dalam Sejarah Banjar (2003: 36-7) dituliskan, sebelum berdirinya Kesultanan Banjarmasin pada 1526, bahkan sebelum adanya Negara Dipa dan Negara Daha sebagai cikal-bakal Kesultanan Banjarmasin, berdiri satu negara etnik orang Ma’anyan yang bernama Nansarunai. Karena kuatnya usak jawa atau Jawa yang
merusak yaitu gempuran dari Majapahit, mereka harus pergi dari Nansarunai.

Juga dituturkan tentang seorang tokoh bernama Labai Lamiah. Konon, ia adalah orang Dayak Ma’anyan pertama yang menjadi muallaf dan mubaligh. Ia berdakwah di wilayah Nagara yang masyarakatnya pada waktu itu adalah campuran antara suku Dayak Ma’anyan dan mantan prajurit Majapahit yang masih memeluk agama Hindu Syiwa. Labai Lamiah berhasil mengislamkan orang-orang Ma’anyan yang ada di Banua Lawas atau sekarang disebut Pasar Arba, tidak jauh dari Kalua. Akibatnya, Balai Adat orang Ma’anyan di tempat itu berubah fungsi menjadi Masjid. Hingga sekarang, di halaman Masjid itu masih dapat ditemukan beberapa guci yang menjadi simbol keberadaan orang Ma’anyan.

Orang Dayak Ma’anyan yang memeluk Islam disebut jari hakey. Pada awalnya, sebutan hakey ditujukan kepada utusan Raja Banjar yang hadir dalam Ijambe (upacara kematian). Ketika mereka dengan sopan menolak memakan daging babi yang dihidangkan dan menjelaskan alasannya, orang Ma’anyan berkata: “O … hakahiye sa” (o … begitukah). Berdasarkan ucapan itu, semua orang Banjar, muslim dan orang Dayak Ma’anyan yang beragama Islam disebut hakey. Adanya kaum yang bahakey membuat orang Ma’anyan tidak lagi satu warna. Mereka yang bertahan dengan adat, pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Banjar mencari
tempat baru. Dipimpin Uria Napulangit, mereka pergi ke dan menetap di tepi Sungai Siong di sebelah Barat Daya Tamiang Layang sekarang. Namun rasa persaudaraan mereka dengan kerabat yang bahakey tetap terjalin. Hal itu tampak dengan dibangunnya Balai Adat yang dikhususkan untuk muslim, yang mereka sebut Balai Hakey. Bangunan ini dapat dilihat dalam upacara besar Dayak Ma’anyan seperti Ijambe (upacara pembakaran mayat), khususnya di masyarakat Paju Epat (nama wilayah empat kampung besar). Di Balai itu, masakan yang disajikan harus disembelih secara Islam oleh perwakilan yang beragama Islam.

Hingga kini, Balai Hakey tetap didirikan oleh orang Dayak Ma’anyan setiap kali ada Ijambe. Balai yang kokoh, sekokoh sikap toleransi orang Ma’anyan. Perekat Sosial Hikmat atau kearifan memang ada di mana-mana. Ia berseru di pinggir jalan memanggil orang untuk menghampirinya, demikian kata Penulis Amsal. Ia ada di mana saja termasuk di dalam tradisi lisan. Bagi masyarakat yang belum mengenal budaya tulis-menulis, tradisi lisan merupakan sarana untuk menyimpan sejarah silam kehidupan suku. Lebih dari itu, tradisi lisan juga sarana untuk menguraikan jati diri. Karena itu, dalam upacara penting misalnya Ijambe, tradisi lisan selalu dituturkan.
Paparan di atas memperlihatkan betapa dahsyatnya Urang Ma’anyan menguraikan jati dirinya ketika berhadapan dengan Urang Banjar. Tentu saja, hal itu dilakukan karena Banjar tidak sekadar identitas suku, tetapi juga identitas politik, sosial, ekonomi dan agama. Banjar sebagai identitas agama tampak dalam
adagium ‘Banjar berarti Islam dan Islam berarti Banjar’.

Namun bagi orang Ma’anyan, adagium bersosok dingin itu tidak harus dikontestasikan. Tidak perlu jalan merah yang sarat amarah, apalagi pertumpahan darah. Bagi mereka, Banjar adalah hakey yaitu saudara mereka yang memeluk agama Islam. Tradisi lisan telah menjadi referensi kultural mereka untuk bersikap ramah kepada siapa pun, kendati berbeda agama dan keyakinan. Juga menjadi rujukan politik, ketika menerima seseorang yang tidak seagama dengan mereka untuk menjadi pemimpin mereka. Tradisi lisan telah menjadi sumber kearifan untuk merekatkan persaudaraan dan kekerabatan.

Tradisi lisan memang seumpama teks Kitab Suci, punya daya paksa yang tinggi namun cara kerjanya sangat halus sehingga tidak terasa sama sekali. Hal ini tampak dari berdirinya bangunan rumah adat Banjar yang adalah makam Putri Mayang Sari di Desa Jaar, Tamiang Layang, Kalteng. Mereka mendirikan bangunan itu berdasarkan tradisi lisan Putri Banjar di Tanah Ma’anyan. Lebih jauh lagi, tempat pemakaman Putri Mayang Sari itu baru saja dipugar oleh Pemkab Barito Timur. Ini petanda, sekarang pun beliau masih dihormati masyarakat setempat. Secara fisik, bangunan itu adalah makam Putri Mayang Sari. Namun secara metafisik, bangunan itu adalah terusan batin persaudaraan yang menghubungkan Urang Dayak Ma’anyan dengan Urang Banjar. Juga menjadi media budaya dan sumber sejarah, di mana mereka dapat merunut benang merah kekerabatan dengan orang Banjar dan kemudian berkata: “Kalian bukan orang lain.”

Datu Suban

Datu suban sering disebut juga datu sya'iban ibnu zakaria zulkifli dgn ibunda bernama maisyarah,beliau hidup dikampung muning tatakan kabupaten tapin rantau kalimantan selatan,beliau semasa hidupnya mempunyai martabat tinggi dan mulia,peramah dan paling disegani yg patut diteladani oleh kita sebagai penerus dan pewaris yg hidup diabad modern ini.

Datu suban adalah guru dari semua datu orang muning,selain ahli ilmu tasawuf,datu suban juga ahli ilmu taguh (kebal),ilmu kabariat,ilmu dapat berjalan diatas air,ilmu maalih rupa,ilmu pandangan jauh,ilmu pengobatan,ilmu kecantikan,ilmu falakiah,ilmu tauhid dan ilmu firasat,dgn ilmu yang dimilikinya banyaklah org yg menuntut ilmu kepada beliau an yg paling terkenal ada 13 orang..

1.Datu Murkat

2.Datu Taming Karsa

3.Datu Niang thalib

4.Datu Karipis

5.Datu Ganun

6.Datu Argih

7.Datu ungku

8.Datu Labai Duliman

9.Datu Harun

10.Datu Arsanaya

11.Datu Rangga

12.Datu Galuh Diang Bulan

13.Datu Sanggul

Diantara ilmu ilmu yg selalu diajarkan dlm setiap kesempatan beliau selau mengajarkan ilmu mengenal diri (ilmu ma'rifat) dgn tarekat memusyahadahkan Nur Muhammad,hal ini tdklah mengherankan karena sebelum datu suban mengajarkan ajaran makrifat melalui tarekat Nur Muhammad ini,seorang ulama banjar yaitu syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari telah menulis asal kejadian Nur Muhammad itu,yg naskahnya ditemukan oleh seorang orientalis bangsa Belanda R.O.Winested.

Datu suban dikenal sebagai wali Allah beliau memiliki karamah kasyaf yaitu terbukanya tabir rahasia bagi beliau sehingga dapat mengetahui sampai dimana kemampuan murid muridnya dlm menerima ilmu ilmu yg diberikannya,seperti akan menyerahkan kitab pusaka yg kemudian hari dinamakan kitab barencong,kitab tsb beliau serahkan kepada Datu Sanggul (abdussamad),murid terakhir yg belajar kepada beliau,menurut pandangan kasyaf beliau hanya abdussamad lah yg dapat menerima,mengamalkan dan mengajarkannya,karamah beliau yg lain beliau mengetahui ketika akan tiba ajalnya,ketika dari mata beliau keluar sebuah sosok yg rupanya sangat bagus,bercahaya dan berpakaian hijau,ini berarti tujuh hari lagi beliau akan berpindah alam,empat hari kemudian dari tubuh datu suban keluar lagi cahaya berwarna putih amat cemerlang,besarnya sama dgn tubuh beliau dan berbau harum semerbak,ini berarti tiga hari lagi beliau akan meninggalkan dunia fana ini,oleh karena itu beliau segera mengumpulkan semua murid muridnya,setelah semua muridnya berkumpul beliau berkata, "Murid murid yg aku cintai,kalian jangan terkejut dengan panggilan mendadak ini,karena pertemuan kita hanya hari ini saja lagi,nanti malam sekitar jam satu tengah malam aku akan meninggalkan dunia yg fana ini,hal ini sudah tidak bisa ditunda tunda lagi,karena ketentuan ALLAH telah berlaku"

Kemudian beliau membacakan firman ALLAH surat An-Nahal ayat 61 yang berbunyi: "Apabila sudah tiba waktu yang ditentukan maka tidak seorang pun yang dapat mengundurkannya dan juga tidak ada yang dapat mendahulukannya."

mendengar ucapan beliau itu semua yg hadir diam membisu seribu bahasa.

"Nah,waktuku hampir tiba"kata Datu suban memecah kesunyian itu.

"Mari kita berzikir bersama sama untuk mengantarkan kepergianku"kata Datu Suban lagi.

Semua murid dipimpin oleh beliau serentak mengucapkan zikir "Hu Allah...Hu Allah...Hu Allah..."

"Perhatikanlah ..apabila aku turun kurang lebih 40 hasta sampai pada batu berwarna merah sebelah dan hitam sebelah,aku berdiri disana nanti,maka pandanglah aku dengan sebenar benarnya,yang ada ini atau yang tiada nanti,lihatlah akau ada atau tiada,kalau ada masih diriku ini tidak menjadi tiada,berarti ilmu yang kuajarkan kepada kalian belum sejati,tetapi bila aku menjadi tiada berarti ilmu yangkuajarkan kepada kalian adalah ilmu sejati dan sempurna"

Setelah berkata demikian beliau diam,kemudian meletuslah badan Datu Suban dan timbul asap putih,hilang asap putih timbul cahaya (nur) yang memancar mancar sampai keatas ufuk yang tinggi,kemudian lenyap ditelan kemunculn cahaya rembulan.

Semua yang hadir takjub menyaksikan kejadian itu,kemudian terdengar gemuruh ucapan murid murid beliau...Inna lillahi wainna ilaihi raaji'uun.

Datuk sanggul dan Kitab Berencong

Menurut riwayat, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pernah bertemu dengan Datu Sanggul sewaktu masih menuntut ilmu di Mekkah. Dalam beberapa kali pertemuan tersebut, keduanya kemudian sharing dan diskusi masalah ilmu ketuhanan. Hasil dari diskusi mereka tersebut kemudian ditulis dalam sebuah kitab yang oleh orang Banjar dinamakan kitab Barencong. Siapakah Datu Sanggul?

Berdasarkan tutur lisan yang berkembang dalam masyarakat dan beberapa catatan dari beberapa orang penulis buku, sepengetahuan penulis setidaknya ada tiga versi yang menjelaskan tentang sosok dan kiprah Datu Sanggul.

Versi Pertama menyatakan bahwa Datu Sanggul adalah putra asli Banjar. Kehadirannya menjadi penting dan lebih dikenal sejarah lewat lisan dan berita Syekh Muhammad. Arsyad yang bertemu dengannya ketika beliau masih belajar di Mekkah. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Datu Sanggul pernah berbagi ilmu dengan Syekh Muhammad Arsyad dan melahirkan satu kitab yang disebut dengan kitab Barencong yang isinya menguraikan tentang ilmu tasawuf atau rahasia-rahasia ketuhanan dan sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan serta diragukan keberadaannya, karena tidak pernah ditemukan naskahnya. Namun walaupun demikian pengertian dari kitab Barencong itu sendiri dapat kita tinjau dan pahami dari dua sisi, yakni pemahaman secara tersurat dan secara tersirat. Secara tersurat boleh jadi kitab tersebut memang ada, berbentuk seperti umumnya sebuah buku dan ditulis bersama sebagai suatu konsensus keilmuan oleh Syekh Muhammad Arsyad dan Datu Sanggul (hal ini menggambarkan adanya pengakuan dari Syekh Muhammad Arsyad akan ketinggian ilmu tasawuf Datu Sanggul).

Kemudian secara tersirat dapat pula dipahami bahwa maksud kitab Barencong tersebut adalah simbol dari pemahaman ketuhanan Syekh Muhammad Arsyad yang mendasarkan tasawufnya dari langit turun ke bumi dan simbol pemahamanan tasawuf Datu Sanggul dari bumi naik ke langit. Maksudnya kalau Syekh Muhammad Arsyad belajar ilmu ketuhanan dan tasawuf berdasarkan ayat-ayat Alquran yang telah diwahyukan kepada Nabi Saw dan tergambar dalam Shirah hidup beliau, sahabat dan orang-orang sholeh sedangkan Datu Sanggul mengenal hakikat Tuhan berdasarkan apa-apa yang telah diciptakan-Nya (alam), sehingga dari pemahaman terhadap alam itulah menyampaikannya kepada kebenaran sejati yakni Allah, karena memang pada alam dan bahkan pada diri manusia terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi mereka yang mentafakurinya. Dengan kata lain ilmu tasawuf Datu Sanggul adalah ilmu laduni yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Karena itulah orang yang ingin mempelajari ilmu tasawuf pada dasarnya harus menggabungkan dua sumber acuan pokok, yakni berdasarkan wahyu (qauliyah) dan berdasarkan ayat-ayatNya “tanda-tanda” (qauniyah) yang terpampang jelas pada alam atau makhluk ciptaanNya.

Versi Kedua, menurut Zafri Zamzam (1974) Datu Sanggul yang dikenal pula sebagai Datu Muning adalah ulama yang aktif berdakwah di daerah bagian selatan Banjarmasin (Rantau dan sekitarnya), ia giat mengusahakan/memberi tiang-tiang kayu besi bagi orang-orang yang mendirikan masjid, sehingga pokok kayu ulin besar bekas tebangan Datu Sanggul di Kampung Pungguh (Kabupaten Barito Utara) dan pancangan tiang ulin di pedalaman Kampung Dayak Batung (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) serta makam beliau yang panjang di Kampung Tatakan (Kabupaten Tapin) masih dikenal hingga sekarang. Salah satu karya spektakulernya yang masih dikenang hingga kini adalah membuat tatalan atau tatakan kayu menjadi soko guru masjid desa Tatakan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga ketika membuat soko guru dari tatalan kayu untuk masjid Demak. Tidak ada yang tahu siapa nama asli tokoh ini, sebutan Datu Sanggul adalah nama yang diberikan oleh Syekh Muhammad Arsyad ketika beliau menjawab tidak memakai ilmu atau bacaan tertentu, kecuali “hanya menjaga keluar masuknya nafas, kapan ia masuk dan kapan ia keluar”, sehingga dapat secara rutin pulang pergi sholat ke Masjidil Haram setiap hari Jumat.

Versi ketiga, berdasarkan buku yang disusun oleh H.M. Marwan (2000) menjelaskan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Syekh Abdus Samad, ia berasal dari Aceh (versi lain menyebutkan dari Hadramaut dan dari Palembang). Sebelumnya Datu Sanggul sudah menuntut ilmu di Banten dan di Palembang, ia menjadi murid ketiga dari Datu Suban yang merupakan mahaguru para datu yang ahli agama dan mendalami ilmu Tasawuf asal Pantai Jati Munggu Karikil, Muning Tatakan Rantau. Informasi lain yang berkembang juga ada yang menyatakan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Ahmad Sirajul Huda atau Syekh Jalil. Datu Sanggul atau Syekh Abdus Samad satu-satunya murid yang dipercaya oleh Datu Suban untuk menerima kitab yang terkenal dengan sebutan kitab Barincong, beliau juga dianggap memiliki ilmu kewalian, sehingga teristimewa di antara ketigabelas orang murid Datu Suban.

Datu Sanggul lebih muda wafat, yakni di tahun pertama kedatangan Syekh Muhammad Arsyad di Tanah Banjar. Berkat keterangan Syekh Muhammad Arsyad-lah identitas kealiman dan ketinggian ilmu Datu Sanggul terkuak serta diketahui oleh masyarakat luas, sehingga mereka yang asalnya menganggap “Sang Datu” sebagai orang yang tidak pernah shalat Jumat sehingga tidak layak untuk dimandikan, pada akhirnya berbalik menjadi hormat setelah diberitakan oleh Syekh Muhammad Arsyad sosok Datu Sanggul yang sebenarnya.

Banyak cerita yang lisan yang beredar di masyarakat berkenaan dengan keramat Datu Sanggul. Diceritakan bahwa Kampung Tatakan pernah dilanda Banjir, akibat hujan lebat, sehingga jalan-jalan di Kampung tergenang oleh air. Pas ketika hari Jumat, biasanya orang kalau mengambil air wudhu di sungai yang mengalir, dengan duduk di batang. Tetapi ketika Datu Sanggul datang dan berwudhu dalam penglihatan orang-orang di masjid beliau menceburkan diri ke sungai, tetapi anehnya ketika naik, badan beliau tidak basah.

Jamaah Masjid juga pernah menyaksikan ketika shalat, dalam beberapa menit tubuh Datu Sanggul melayang di udara dan hilang dari pandangan orang banyak. Riwayat juga ada menceritakan tentang berpindah-pindahnya kuburan dari Datu Sanggul dari beberapa tempat, sampai yang terakhir di Tatakan.

Berdasarkan paparan di atas menjadi satu catatan penting, untuk menggagas kembali penelitian sejarah yang mengungkapkan riwayat hidup tokoh sentral masyarakat Tapin ini secara detail, guna melengkapi dan memperkaya khazanah tulisan-tulisan yang sudah ada mengenai riwayat hidup, sejarah perjuangan dan kiprah beliau di Bumi Kalimantan, seperti “Riwayat Datu Sanggul dan Datu-Datu” oleh sejarawan Banjar Drs. H. A. Gazali Usman, atau pula “Manakib Datu Sanggul”, oleh H.M. Marwan. Tenut saja, agar generasi yang hidup di masa sekarang dan masa mendatang tidak pangling terhadap sejarah dan tokoh yang menjadi “maskot” daerah mereka. Dalam artian bukan maksud untuk mengagung-agungkan apalagi mengkultuskan mereka, tetapi untuk mengikuti jejak hidup, perjuangan dan akhlak postif sesuai prinsip ajaran agama yang telah ditorehkannya. Wallahua’lam.

Riwayat Hidup Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang juga dikenal dengan nama Tuanta Salamakka dan Datuk Kalampayan, lahir di Desa Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada 15 Safar 1122 H, bertepatan dengan 19 Maret 1710 M. Dia merupakan putra tertua dari lima bersaudara, ayahnya bernama ‘Abd Allah dan ibunya bernama Siti Aminah. Muhammad Arsyad lahir di lingkungan keluarga yang terkenal taat beragama. Kondisi lingkungan yang baik ini mempunyai andil yang besar dalam membentuk kepribadian Muhammad Arsyad selanjutnya.


Ketika dia berumur sekitar tujuh tahun, Sultan Tahlil Allah (1700-1745 M), penguasa Kesultanan Banjar pada waktu itu, meminta kepada orang tua Arsyad agar bersedia menyerahkan anaknya untuk dididik dan dibesarkan di lingkungan istana sekaligus diadopsi sebagai anak angkatnya. Keinginan ini dilakukan, karena Sultan tertarik dengan kecerdasan dan ketrampilan Arsyad muda ketika mengadakan kunjungan kerja ke Desa Lok Gabang. Meskipun ‘Abd Allah dan Aminah, orang tua Arsyad, sebetulnya merasa keberatan untuk melepaskan anak tertuanya itu untuk diadopsi sultan, namun mereka tidak kuasa untuk menolak maksud baik Sultan. Merekapun menyerahkan anaknya kepada Sultan untuk tinggal bersama anak-anak dan cucu-cucu keluarga istana. Muhammad Arsyad tinggal di lingkungan istana Kesultanan Banjar ini selama sekitar 23 tahun, karena pada umur sekitar 30 tahun dia merantau untuk menuntut ilmu di Haramain; Mekkah dan Madinah. Ia belajar di Mekkah kurang lebih 30 tahun dan belajar di Madinah kurang lebih 5 tahun. Dia kembali lagi ke Banjar pada Ramadhan 1186 H/Desember 1772.

Sebelum berangkat untuk menuntut ilmu ke Mekkah dan Madinah, Muhammad Arsyad dikawinkan oleh Sultan dengan seorang wanita bernama Bajut yang ditinggalkannya dalam kondisi hamil. Istrinya ini melahirkan seorang bayi perempuan yang kemudian diberi nama Syarifah, ketika Muhammad Arsyad masih berada di perantauan, sibuk menggeluti pelajaran-pelajarannya. Ketika Syarifah sudah beranjak dewasa, dia (sebagai wali mujbir) mengawinkannya dengan sahabatnya sendiri, ‘Abd Al-Wahab Bugis, sedangkan Sultan (sebagai wali hakim) juga menikahkan dengan seseorang yang bernama Usman (permasalahan ini dibahas lebih lanjut dalam pemikiran Syekh Arsyad dalam Ilmu Falak).

Sekembalinya dari tanah suci, Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Kalimantan Selatan melalui jalur pendidikan, dakwah, tulisan dan keluarga. Dalam jalur pendidikan, dia mendirikan pondok pesantren lengkap dengan sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya. Dalam jalur dakwah, dia mengadakan pengajian-pengajian umum baik untuk kalangan kelas bawah maupun kalangan istana. Dalam tulisan, dia aktif menulis kitab-kitab yang bisa dibaca hingga sekarang.

Sedangkan dalam jalur keluarga, dia melakukan dakwah dengan mengawini para wanita-wanita terhormat untuk mempermudah penyebaran Islam di masyarakat, sehingga dalam catatan sejarah, ada sebelas orang isteri dalam kehidupannya. Dia mengawini para isterinya tidak bersamaan dan tidak lebih dari empat orang dalam hidupnya, tetapi apabila salah seorang isterinya meninggal, dia menikah lagi dan begitu seterusnya. Syekh Arsyad dapat berlaku bijaksana dan adil terhadap para isterinya, sehingga mereka hidup rukun dan damai. Isteri-isteri Syekh Arsyad tersebut adalah: 1. Bajut; melahirkan Syarifah dan Aisyah. 2. Bidur; melahirkan Kadi H. Abu Suud, Saidah, Abu Na’im, dan Khalifah H. Syahab Al-Din. 3. Lipur; melahirkan ‘Abd Al-Manan, H. Abu Najib, alim al-fadhil H. ‘Abd Allah, ‘Abd Al-Rahman, dan alim al-fadhil ‘Abd Al-Rahim. 4. Guwat (keturunan Cina; Go Hwat Nio); melahirkan Asiyah, Khalifah H. Hasanuddin, Khalifah H. Zain Al-Din, Rihanah, Hafsah, dan Mufti H. Jamal Al-Din. Dalam perkawinan ini, Syekh Arsyad berusaha menyebarkan Islam di kalangan Tionghoa, dia tidak merubah nama isterinya untuk menunjukkan bahwa Islam tidak akan merubah tradisi mereka, asal tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam. 5. Turiyah; melahirkan Nur’ain, Amah, dan Caya. 6. Ratu Aminah; melahirkan Mufti H. Ahmad, Safia, Safura, Maimun, Salehah, Muhammad, dan Maryamah. 7. Palung; melahirkan Salamah, Salman, dan Saliman. 8. Kadarmik. 9. Markidah. 10. Liyyuhi, dan 11. Dayi, keempat isteri yang terakhir ini tidak memberikan keturunan (Kadir, 1976).

Syekh Arsyad melakukan dakwah di Banjar selama kurang lebih 40 tahun. Menjelang ajalnya, dia menderita sakit lumpuh, darah tinggi, dan masuk angin dan akhirnya dia meninggal dalam usia 105 tahun (hitungan tahun Hijriyah) atau 102 tahun (hitungan tahun Masehi). Sebelum meninggal, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan apabila sungai dapat dilayari. Namun apabila tidak bisa, dia minta dikebumikan di Karang Tengah, tempat isteri pertamanya, Bajut dimakamkan. Ketika dia meninggal, air sedang surut, maka wasiat pertamanya yang dilaksanakan. Dia meninggal pada 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812 M dan dimakamkan di Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan (sekitar 56 km dari Kota Madya Banjarmasin).

SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

HAUL DATUK KAMI SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD
جدنا انظر الينا انت تعطى الولاية نور سرك ظاهر قدحظيت المهابه وافتح الباب واذهب ربنا كل فتره بركه سرمن مولانا شيخ أرشد بنجزيه

Syaikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al Banjari dilahirkan pada tanggal 15 Shafar 1122 H / 17 Maret 1710 M di Lok Gobang Martapura Kalsel.Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar,suatu hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, dicerita-kan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu,maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.

Syekh Muhammad Arsyad al Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana,Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama datu Bajut. Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.Ketika istrinya mengandung anak yang pertama,terlintaslah di hati Beliau suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannya lah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta. Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Beliau ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya.

Beliau mengaji kepada syaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau adalah :
Syeikh 'Athoillah bin Ahmad al Mishry
Al Faqih Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Kurdi
Al 'Arif Billah Syeikh Muhammad bin AbdulKarim asSamman al-Hasani al-Madani. Syeikh Samman Al madani adalah guru Beliau di bidang tasawuf,dimana di bawah bimbingannya lah Beliau melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah. Setelah lebih kurang 30 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman.
Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Beliau di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat digantikan oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.

Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Aktivitas beliau sepulangnya dari Mekkah dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang 'alim lagi wara,.

Dari beberapa penulis manaqib Beliau antara lain Mufti Kerajaa Indragiri Abdurrahman Siddiq berpendapat bahwa Beliau adalah keturunan sadah Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindano (filipina). Jalur nasabnya yaitu :
Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindano bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalabiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Aidarus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidarus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali' Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama 'ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja 'far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zain Al Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu'minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.

Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari wafat dalam usia 105 tahun, pada 6 Syawal 1227 H. / 3 Oktober 1812 M. di Martapura Kalimantan Selatan dan dimakamkan di Kampung Kalampaian. Selama hidupnya (Syaikh Muhammad Arsyad) ia memiliki 29 anak dari istri isterinya Salah satu karya peninggalannya paling terkenal yaitu kitab fiqh Sabil al Muhtadin yang masih dijadikan sebagai bahan rujukan hukum-hukum fiqh di Indonesia dan nama kitab itu diabadikan pada sebuah Masjid raya di Banjarmasin bernama Masjid Sabil al Muhtadin.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari telah mengarang beberapa kitab dalam bahasa Melayu, yaitu:
1. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Muminin wa ma Yufsiduhu Riddah al Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M..
2. Luqtah al 'Ajlan fi al-Haidhi wa al- Istihadhah wa an-Nifas an-Nis- yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M..
3. Sabil al Muhtadin li at Tafaqquhi fi Amri ad Din, diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M. Dicap Quastantiniyah (Konstantinopel,Turki, Mekah dan Madinah.
4. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiulawal 1196 H/1781 M..
5. Kitab Bab an-Nikah..
6. Bidayah al-Mubtadi wa 'Umdah al- Auladi.
7. Kanzu al-Ma 'rifah.
8. Ushul ad-Din.
9. Kitab al-Faraid.
10. Hasyiyah Fath al Wahhab..
11. Mushhaf al-Quran al Karim..
12. Fath ar-Rahman.
13. Arkanu Ta'lim asshibyan.
14. Bulugh al-Maram.
15. Fi Bayani Qadha wa al Qadar wa al Waba.
16. Tuhfah al-Ahbab.
17. Khuthbah Muthlaqah dgn Makna. Kitab ini dikumpulkan semula oleh keturunannya, Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Tambilahan riau) dicetak oleh Mathba'ah Al Ahmadiah (Singapura).

اللهم انشر نفحات الرضوان عليه وأمدنا بالأسرار التى او دعتها لديه لا اله الا الله سيدنا محمد رسول الله صل الله عليه وسلم جدنا الشيخ محمد ارشد البنجرى ولي الله رضي الله عنه اللهم صل وسلم جده الامين سيدنا محمد صل الله عليه وسلم